Skip to main content

Bagaimana Aku Merasa Dicintai?

Saat itu, aku dan sebagian besar Ekspresi baru saja menyelesaikan refleksi 2 mingguan pertama kami. Hampir sekitar pukul 2 dini hari, kami masih sedikit melanjutkan obrolan atau sekadar ucapan terima kasih telah membersamai beberapa jam terakhir dengan 'saling mengisi' yang begitu bermakna. Tidak pernah ada kata sia-sia ketika bersama mereka. Sambung menyambung percakapan satu dengan yang lain seakan selalu memberi nutrisi tersendiri untuk jiwa, raga, dan sukma, begitu salah satu temanku menyebutnya. Hampir tidak ada keraguan pula untuk membahas apa pun bersama mereka.

Dan karena beberapa dari kami secara tidak sengaja namun serupa membahas soal asmara, aku yang selama ini belum pernah memiliki pengalaman seperti mereka, langsung bertanya, "Btw rek, aku jadi penasaran, gimana ya rasanya dicintai? I mean oleh lawan jenis seperti pengalaman kalian itu". Mungkin terdengar aneh bagi kebanyakan orang yang saat ini menjalin hubungan dengan orang lain yang katanya atas dasar cinta. Sedangkan, aku yang memang tidak berniat mengarah ke sana selain ikatan yang serius, jadi penasaran saja bagaimana rasanya. Tidak, aku tidak merasa baper sama sekali saat itu, hanya benar-benar penasaran saja.

"Yang cinta kamu banyak, Zi."

"Kamu kan dicintai anak-anak di Maluku Barat Daya. Rasanya sama kok, meaningful and impactful."

"I know. But, those aren't what I meant. Well, thank you."

***

Waktu berlalu. Efek pandemi yang mengharuskanku stay di kamar sepetak yang kusewa dengan segala fasilitas di dalam dan luarnya, sebenarnya membuatku betah dan nyaman berada jauh dari keributan dan kerumunan orang-orang. Ya, jiwa introvert-ku berada di fase membara. But, life is like a roller coaster, indeed. There are sometimes we go up, then go down for a while (and can be) without any certain reasons even we've tried hard to find them. Beberapa kali kumerasakannya selama hidup (literally) sendirian ini, aku mulai memahami bahwa aku butuh merasa dicintai.

Bagaimana cara kita merasa dicintai ini yang sangat berbeda bagi setiap orang. Selama ini, aku menggunakan teori 5 Love Languages oleh Dr. Gary Chapman, bahwa terdapat 5 bahasa cinta atau kecenderungan cara seseorang merasa dicintai. Words of affirmation, dengan kata-kata apresiasi yang menyentuh hati. Acts of service, dengan pelayanan atau kerelaan melakukan sesuatu bahkan di luar kata normal menurut kebanyakan orang saat ini. Receiving gifts, dengan kejutan-kejutan berupa hadiah dalam bentup apa pun. Quality time, dengan waktu berkualitas dan obrolan bermakna yang mengalir tak ada habisnya. Serta physical touch, dengan sentuhan fisik yang membuat nyaman dan tenang di tengah kegentingan.

Pict source: Pinterest

Aku memahami bahwa bahasa cinta pertama dan paling utamaku adalah quality time, lanjut dengan physical touch. Tiga lainnya menjadi cara terakhirku menunjukkan kasih sayang atau merasa dicintai oleh orang lain. Bukan berarti sama sekali tidak mau diberi hadiah, diapresiasi, atau dilayani, aku tetap merasa dicintai dengan cara seperti itu. Namun, jika diibaratkan di dalam diriku terdapat tangki yang menampung semua cinta atau kasih sayang dari diriku sendiri dan orang lain, quality time dan physical touch bisa dikatakan mengisi sekitar 70% tangki tersebut. 

That's why, ketika stay di kost terus tanpa orang-orang terdekat yang mampu kujalani waktu dengan kualitas tak hingga dan fisik yang bisa kupeluk seketika, sesekali aku merasa sangat sepi, sendiri, tidak ada yang menemani. Dalam pikiranku terkadang mulai muncul berbagai pertanyaan tak karuan, "Ada yang kangen aku nggak, ya? Dia lagi ngapain ya, bisa kutelepon nggak ya? Dia kangen aku nggak sih, kok beberapa hari nggak ada kabar?", dsb. Atau parahnya aku akan menangis secara tiba-tiba karena ingin memeluk atau dipeluk seseorang, tetapi yang bisa kupeluk hanya benda tak bernyawa dan tak bisa diajak bicara bernama bantal guling.

Mungkin terkesan bucin seperti pasangan yang menjalani LDR atau LDM. Tetapi, sebenarnya penting sekali memahami kebutuhan diri sendiri akan bahasa cinta ini agar tetap waras menjalani hari. Terutama di kondisi yang tidak bisa mengekspresikannya secara langsung karena terdapat jarak ruang dan waktu. Setelah memahami kebutuhan diri sendiri, kita jadi mampu menentukan tindakan yang menjadi prioritas saat itu juga sebelum melanjutkan kehidupan dengan energi utuh dan perasaan bahagia. Dan akan lebih baik lagi jika kita dan orang-orang di sekitar kita saling memahami bahasa cinta masing-masing sehingga mampu bersama-sama memenuhi tangki cinta satu dengan yang lain.

Aku pun berusaha melakukannya, pada akhirnya. Saat perasaanku tidak menentu, kondisiku sedang tidak stabil, energiku terkuras habis karena sesuatu, atau sekadar ingin terhubung lagi dengan orang-orang terdekatku, aku akan menelepon mereka. Selain orang tua tentunya, aku pun memiliki beberapa sahabat yang menjadi pilihan utama untuk kuhubungi, bahkan terdapat seorang sahabat yang kusebut sebagai "my quality time buddy" karena ia sama-sama berbahasa cinta quality time dan ngobrol ngalor ngidul dengannya perasaanku menjadi semakin lega dan bebanku seperti berpindah ke tempat lain yang aku tak mau tahu itu di mana. 

Sayangnya, kebutuhan pysical touch-ku sampai saat ini belum bisa terpenuhi. Namun, memenuhi tangki cinta melalui waktu bersama yang bermakna selama beberapa jam (yang rasanya masih kurang) dengan orang-orang terdekat, membuatku semakin menyadari bahwa ternyata benar, ada orang-orang yang telah, sedang, dan akan selalu mencintaiku. Mengapa aku masih menanyakan hal yang jelas-jelas aku sudah merasakannya dan tetap bisa mengupayakan untuk merasakannya? Dan benar lagi, dicintai itu sangat meaningful and impactful. Buktinya, dengan kasih sayang yang mereka isi ke dalam tangki cintaku, aku mampu tersenyum kembali, melangkah dengan pasti, dan menjalani hari dengan lebih semangat lagi.

Kalau kamu, bagaimana kamu merasa dicintai dan menunjukkan rasa cintamu? :)


Kamis, 21 Mei 2020

Comments