Skip to main content

-

Bagai petir di siang hari yang begitu terik.
Kabar itu hadir tepat setelah adzan Maghrib berkumandang.
Membalikkan 180° kenikmatan es buah dan lumpia yang kamu santap untuk berbuka puasa.
Menghentikan sejenak aktivitas mengecap rasa manis dan asin di lidah, berganti dengan kekakuan yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun.

Kamu sudah tidak mampu mencernanya dengan jernih.
Apalagi menghubungkan sinapsis satu dengan yang lain untuk menghasilkan kata-kata.
"Semangat" bukan lagi tiga suku kata yang bisa kamu benarkan dan terima saat itu juga.
Tidak ada banyangan. Petunjuk jalan seperti ditutup paksa bagai tempat-tempat umum selama pandemi.
Kamu pun hilang arah. Yang ada hanya diam, disusul air yang mulai menetes di dinding pipimu yang mrusu, tetap tanpa suara.

Mungkinkah kenyataan itu bisa dibalik saja?
Semudah menengadah dan menelungkupkan kedua tangan.
Akankah ada harapan? Seperti yang selalu Allah janjikan.

Comments