Skip to main content

Sudahkah Kita Berpihak pada Anak dengan Tidak Mengatakan 'Kamu Pintar'?

Sudah menjadi hal yang lazim saat seorang anak mendapat nilai 100 pada ulangan matematika atau pelajaran lainnya, lebih cepat berbicara daripada beberapa balita lainnya, menggambar dengan sangat bagusnya hingga membuat orang lain terkesima, orang-orang di sekitarnya akan memujinya dengan, "Wah, kamu pintar matematika yaa!", "Anak Mama pintar, sudah bisa bicara", "Wow, bagus sekali gambarmu, kamu pintar menggambar ya".  

Kamu pasti pernah mengalami hal yang sama, bukan? Jadi throwback pengalaman masa lalu ya. Biasanya dalam hal apa saja kamu dibilang pintar oleh orang-orang di sekitarmu, termasuk oleh orang tuamu? Aku sih saat mendapat nilai bagus pada ulangan, sholat tanpa disuruh, rajin mengaji di Taman Pendidikan Alquran, bangun pagi tanpa dibangunkan paksa, membantu Mama memasak, bahkan membantu Ayah mencuci mobil.

Namun, tahukah kamu kalau sebenarnya memuji dengan kata 'pintar' itu memiliki efek yang sama dengan mengatakan 'nakal'?

Ya, memuji dengan kata 'pintar' ternyata termasuk dalam labelling positif, sama seperti saat seseorang me-label negatif seorang anak dengan kata 'nakal'. Aku yakin kamu pasti sudah mengetahui efek dari labelling negatif, seperti kata 'nakal' tersebut. Anak akan semakin percaya bahwa sifat asli dirinya memang nakal, bahkan ia akan membanggakan diri sebagai anak nakal. Sehingga ia merasa bebas dan berkuasa saat melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau nilai-nilai yang dianut keluarganya, lingkungan sekolahnya, dan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Seperti menarik perhatian orang-orang di sekitarnya agar mengucapkan kata 'nakal' lagi.

Lalu, bagaimana pengaruh pujian dengan kata 'pintar' terhadap diri anak?

Memuji anak dengan kata 'pintar' juga akan membuat anak yakin bahwa dirinya memang pintar pada hal tertentu. Misalnya, "Wah, adik pintar matematika ya, ulangan adik sering dapat 100". Dalam pikiran anak tersebut, iya menjadi sangat yakin dan bangga bahwa dirinya pintar. Suatu ketika saat ia tidak mendapat nilai 100 pada tugas, ulangan, atau ujian akhir matematika, ia akan mempertanyakan dirinya sendiri apakah ia benar-benar pintar atau tidak. Hal ini bisa membuatnya merasa frustasi, terlebih jika orang-orang di sekitarnya berkomentar yang tidak membuatnya nyaman mengenai nilai di bawah 100 tersebut. 

Padahal, yang perlu dibangun sejak dini oleh orang tua dan orang-orang di sekitar anak adalah rasa percaya dirinya. Percaya diri dalam memulai belajar sesuatu yang sebelumnya ia tidak pernah tahu. Percaya diri dalam menjalani proses mencoba-gagal-bangkit lagi-gagal lagi-dan berhasil. Percaya diri dalam mengaplikasikan apa yang telah ia pelajari dalam kehidupan sehari-hari atau menuntaskan sebuah tantangan dari fasilator belajarnya.

Dan ini akan berkaitan juga dengan pengaruh saat ia selalu dicap sebagai 'anak pintar'. Ia bukan lagi fokus pada proses atau perilaku yang dijalaninya, melainkan hanya berorientasi pada hasil. Ia menjadi sangat haus akan pujian 'pintar' tersebut sehingga berupaya melakukan berbagai cara agar hasilnya selalu baik, bahkan sempurna, agar terus memperoleh pujian yang sama. Bahayanya apabila ia mengalami kegagalan, ia bisa saja menyembunyikan kegagalan tersebut dengan menceritakan kebohongan demi kebohongan karena ia begitu khawatir mendapat pujian/omongan selain kata 'pintar'.

Yuk, mulai menghindari memberikan pujian 'pintar' pada anak!

Mengingat beberapa dampak negatif dari pujian dengan kata 'pintar' pada anak, kita bisa memulai dengan menghindari penggunaan "person praise" yang hanya fokus pada hasil akhir yang dilihat orang lain, seperti pintar, rajin, sempurna, penurut, terbaik, dsb. Kita mulai biasakan memberi pujian yang berfokus pada proses dan perilaku anak, atau biasa disebut "process praise". Process praise ini sebenarnya mirip seperti penyampaian feedback dengan menyampaikan proses dan perilaku yang baik terlebih dahulu, dilanjutkan dengan saran atau perbaikan yang perlu dilakukan ke depannya. Boleh ditambahkan pula dengan mengungkapkan perasaan kita terhadap proses dan perilaku anak.

Berikut contoh-contoh process praise yang bisa kita mulai biasakan:
"Bunda lihat usahamu gigih sekali sampai bisa mendapat nilai ini. Terus semangat belajar, ya."
"Kamu pasti sudah berusaha dan tidak menyerah berlatih matematika, ya. Ayah bangga sekali."
"Mama senang kamu mulai percaya diri dalam berbicara Bahasa Inggris dengan gurumu."
"Terima kasih, ya, sudah berinisiatif dan sabar membantu Kakak mengurus tanaman-tanaman ini."
"Caramu mengarahkan teman-teman sekelompok untuk selalu fokus pada tugas membuat Ibu Guru bangga."

Penyampaian process praise juga bisa menjadi salah satu upaya orang tua dan orang-orang di sekitar anak untuk lebih berpihak pada anak. Mengenali dan memahami potensi, cara belajar, karakter diri anak, dsb hingga mendukungnya untuk mengoptimalkan yang ia miliki untuk kebaikan hidupnya saat ini dan masa mendatang.

Dokumentasi pribadi: Kelas 5 SD Kristen Bebar

Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Semoga semakin banyak pihak yang mengupayakan pendidikan yang berpihak pada anak, mulai di lingkup keluarga, sekolah, hingga masyarakat.

Comments