Skip to main content

Siapa yang Lebih Baik?

Tadi siang aku sempat melihat Instagram story teman baikku, Udin, dengan tulisan seperti ini:

Kenapa banyak orang selalu menyama-nyamakan dengan yang lainnya?
Kalau berbeda, seolah-olah dipaksa harus mengikuti yang lainnya.
Lalu, sebenarnya dasar "lebih baik" itu apa?

Pertanyaan yang langsung mengingatkanku pada sesi refleksi bersama empat teman baikku lainnya (Endah, Prima, Rochma, dan Tiara) Jumat lalu.

Bisa jadi sebagian orang selalu menyama-nyamakan dengan orang lain karena sesuatu yang dianggap umum dan normal di masyarakat. Seakan-akan setiap orang juga harus berada atau menjalani hal yang umum dan normal itu. Ketika seseorang memilih jalan sendiri atau dipilihkan jalan yang berbeda oleh Tuhan, ia langsung dianggap tidak lazim, salah, dan tidak jarang mendapat tekanan dari berbagai pihak di sekitarnya.

Misalnya, momen selepas kuliah. Hal yang umum terjadi di masyarakat adalah lulus kuliah lanjut bekerja. Menekuni pekerjaan yang sesuai dengan jurusan atau bidang kuliah dan mendapat penghasilan yang cukup menghidupi diri sendiri, terlebih membantu adik-adik sekolah atau orang tua. Ketika ia memilih untuk tidak bekerja dan berkecimpung di dunia kerelawanan misalnya, perdebatan demi perdebatan di lingkup keluarga menjadi contoh bahwa ia dianggap keliru, salah, dan tidak mengerti cara menjalani hidup yang sebaik-baiknya secara umum di keluarganya dan masyarakat.

Bagiku, pandangan umum seperti ini membuatku miris. Apakah pantas manusia dianggap lebih baik dari orang lain karena ia lebih dulu lulus kuliah, lebih dulu mendapat pekerjaan, lebih dulu menikah, lebih piawai berkomunikasi di depan banyak orang, lebih indah menuliskan kata-kata, lebih banyak bilangan rakaat dalam sehari, lebih banyak berdonasi ke sana sini, lebih dulu membeli rumah/ mobil, dan berbagai lebih lainnya?

Padahal, kita tahu kalau Allah menciptakan manusia itu unik dengan fisik, potensi, sifat, dan segala hal yang berbeda, tidak ada yang benar-benar sama meskipun anak kembar sekalipun. Sudah pasti setiap dari kita berbeda secara pemikiran, tindakan, ucapan, apalagi informasi yang selalu kita dapat dan pengalaman-pengalaman yang kita lalui juga tidak sama. Kita bukan barang yang diproduksi pabrik secara masal dengan spesifikasi yang serupa. Lalu, masih tetap berusaha menyama-nyamakan setiap orang? 

Pict Source: freepik.com

Well, balik lagi ke obrolan refleksiku bersama ke-empat temanku. Aku masih mengingat pesan Rochma yang begitu membuka pikiranku soal ini:
"Sudah ya, rek. Nggak perlu merasa lebih baik, lebih cepat, dan lebih segalanya dari orang lain. Cuma Allah yang benar-benar tahu siapa yang lebih baik dari siapa sesuai standar-Nya, bukan berdasarkan standar yang dibuat manusia. Bisa jadi kita istiqomah dalam berbagi ke orang lain yang membutuhkan bantuan misalnya, tetapi orang lain lebih istiqomah bangun di sepertiga malam terakhir untuk meminta ampun kepada Allah dan ngobrol intim berdua dengan-Nya, yang mana kita sendiri masih menomorsatukan tidur. Apakah kita bisa tahu siapa yang lebih baik dari siapa?"

Lagi-lagi, hanya Allah yang paling tahu standar atau dasar "lebih baik" itu. Dan hanya Ia yang tahu siapa yang lebih baik.

Comments