Sekitar dua minggu lalu, aku dipinjami seri pertama buku Gahzi oleh
temanku, Yoga. Tetapi baru benar-benar kubaca tiga hari terakhir ini. Mungkin
kalian sudah ada yang pernah mendengar, atau berencana membaca, atau bahkan
sudah membacanya hingga seri terakhir. Yang aku ketahui, serial Ghazi merupakan
penjelasan lebih lengkap dari kisah perjuangan umat Islam menaklukkan
konstantinopel yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Dimulai dari
perjuangan kakek beliau pada seri pertama dengan uapaya penaklukkan wilayah-wilayah
di Eropa.
Well, kali ini aku tidak
bermaksud membuat resensi seri pertama buku tersebut. Tetapi selama aku
membacanya, aku jadi teringat perjuangan teman-teman mahasiswa dari seluruh
Indonesia yang dikoordinir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia
(BEM SI) dalam aksi memperingati 3 tahun pemerintahan Pak Jokowi-JK di depan
Istana Negara hari Jumat lalu, tanggal 20 Oktober 2017. Juga aksi masa yang
menolak pengesahan Perppu Ormas hari Selasa, 24 Oktober 2017.
Hal yang membuatku menganalogikan perjuangan yang dilakukan oleh
orang-orang yang berbeda, tempat yang berbeda, bahkan masa yang berbeda
tersebut adalah cara para khalifah memperjuangkan penyebaran Agama Islam. Para
pemimpin umat Islam tidak pernah langsung menyerukan peperangan dengan wilayah-wilayah
non-Islam. Beliau-beliau selalu mengirimkan utusan terlebih dahulu ke para
raja/pemimpin wilayah untuk menyampaikan
pesan ajakan memeluk Agama Islam. Seruan perang selalu menjadi pilihan terakhir
jika memang semua cara baik ditolak oleh para raja/pimpinan wilayah yang
bersangkutan. Karena mereka telah menghalangi rakyat-rakyatnya mendapat
pancaran cahaya Islam. Beginilah isi surat Sultan Murad kepada pemimpin Bulgaria
saat itu yang dikisahkan dalam buku Ghazi seri pertama:
“Dengan menyebut nama
Allah ‘azza wa jalla. Dari Murad, Khalifah Orang Beriman, kepada Ivan
Alexander, Kaisar Bulgaria. Aku bermaksud mengajakmu untuk bersama-sama
berpegang teguh pada satu kalimat yang kokoh yang tidak aka nada perselisihan di
antara kita. Yaitu kalimat tauhid, tiada Tuhan yang patut disembah kecuali
Allah, Tuhan seru sekalian alam. Dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah
sebagaimana Isa ‘alaihissalam telah diutus juga oleh-Nya.
Aku menyeru kepadamu,
masuklah kau ke dalam Islam, maka pasti kau akan selamat di dunia dan akhirat.
Kehidupanmu akan mudah dan berkah. Tapi kalau kamu menolak, kau diwajibkan
untuk membayar jizyah setiap tahun. Jangan dulu kamu berburuk sangka, Islam
mengatur bahwa jizyah hanya diambil dari laki-laki dan dari orang-orang mampu,
bukan dari anak-anak, perempuan, dan orang-orang miskin. Dengan bernanung di
bawah penerapan syariat Islam kesejahteraanmu akan dijamin dan keamananmu akan
terjamin pula. Kau tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam dan tidak akan
dianiaya secuil pun.
Tapi kalau pilihan
kedua ini pun kau tolak, tandanya kau telah menghalangi sampainya seruan Islam
kepada rakyatmu, dan Allah mengajarkan bahwa aku harus menghancurkan penghalang
itu dengan memerangimu dan pasukanmu.”
Barisan kalimat surat itu seakan-akan membawaku kembali pada keramaian
timeline dan bahasan grup di Line maupun story teman-teman di Instagram
mengenai aksi para mahasiswa di Jakarta hari Jumat lalu. Dan insya Allah para
mahasiswa telah memulai perjuangan mereka sesuai dengan apa yang telah
dilakukan para khalifah terdahulu. Disebutkan bahwa perwakilan pihak BEM SI
telah melayangkan surat permohonan pertemuan dengan bapak presiden kita sejak
satu bulan lalu. Hampir sama seperti perjuangan Sultan Murad saat itu,
teman-teman mahasiswa dari awal telah bertekad menyampaikan kebaikan,
kebenaran, kritik dan saran kepada pemimpin negeri ini secara baik-baik. Namun,
sangat disayangkan hingga pelaksanaan aksi belum ada tanggapan sama sekali dari
pihak istana negara. Dilanjutkan dengan aksi pada hari Jumat lalu yang
sebenarnya tanpa kekerasan, tanpa merusak fasilitas umum. Seakan-akan sudah
masuk dalam tahap peperangan pada perjuangan penaklukan Bulgaria oleh Sultan
Murad dan pasukannya saat itu. Hanya saja dengan cara yang berbeda. Namun
sama-sama beri’tikad baik untuk menggaungkan kebenaran dan kebaikan. Sayangnya,
perjuangan menyuarakan kebenaran melawan kedzaliman memang tidak pernah selalu
mudah. Ancaman dari luar tidak dapat dihindari. Seperti peperangan Sultan Murad
yang sempat menarik pasukannya kembali akibat serangan bertubi-tubi dari pihak
lawan dengan strategi yang tidak biasa, aksi para mahasiswa hari itu diakhiri
dengan pertumpahan darah dan penangkapan sekian belas mahasiswa, bahkan pelabelan
sebagai tersangka oleh aparat. Hingga berujung pada pemutarbalikan fakta oleh
media. Penghapusan post para netizen di sosial media. Dan lain sebagainya. Sungguh
miris mendengar dan melihatnya.
Tak hanya itu. Perjuangan menyuarakan kebenaran dan kebaikan tidak
akan pernah berhenti dilakukan oleh mereka yang memahami kalimatullah. Jika
tidak berhasil menggunakan cara-cara baik melalui duduk sama rendah berdiskusi
bersama, aksi menjadi salah satu jalan menyuarakannya. Agar orang-orang yang
awalnya buta dan mungkin membutakan
diri, pura-pura tidak mengetahui, semakin paham bahwa kebenaran memang harus
terus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Seperti halnya aksi
penolakan pengesahan Perppu Ormas hari Selasa lalu. Dan semakin hari semakin
terlihat, bahwa ternyata tidak hanya pihak eksekutif pemerintahan masa kini
yang perlu diingatkan kembali. Pihak legislatif benar-benar semakin
menjadi-jadi dalam menunjukkan keberpihakan pada golongan tertentu. Bahkan menolak
organisasi-organisasi yang bisa jadi berjuang dengan cara yang lebih benar daripada
organisasi-organisasi yang mereka utamakan dan agung-agungkan. Sungguh sangat
menyedihkan.
Semoga hingga kapanpun dan dimanapun, masih banyak orang baik yang
tidak akan tinggal diam membiarkan kedzaliman. Yang akan selalu memperjuangkan
kebaikan dan kebenaran. Tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
maupun golongan tertentu. Tetapi juga untuk kemaslahatan seluruh umat di bumi Allah. Semoga orang-orang itu termasuk saya, kamu, kita semua.
ZIR
Comments
Post a Comment