16 Juli 2016 menjadi hari baru bagi sebagian
siswa-siswi sekolah menengah di Indonesia. Ya, siswa-siswi baru SMP dan SMA
se-Indonesia mulai masuk sekolah hari pertama untuk mengikuti kegiatan pra-PLS
atau pra-Pengenalan Lingkungan Sekolah. Sesuai kebijakan Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, mulai tahun ini tidak diadakan MOS (Masa Orientasi Siswa)
seperti tahun-tahun sebelumnya untuk mengurangi bahkan meniadakan tindakan
perpeloncoan, bullying, dan
sejenisnya. Namun, kali ini aku tidak ingin membahas tentang kebijakan baru
tersebut hehe. Melainkan, hal lain yang menurutku membuat kondisi Indonesia
masih belum bisa maju sampai saat ini.
Jadi, Alhamdulillah kebetulan adikku diterima di
salah satu SMA favorit di kota kecil ini. Dan pastinya tadi pagi dia juga
mengikuti kegiatan pra-PLS di sekolah barunya. Sepulang sekolah, seperti biasa
dia selalu menceritakan apa yang dia alami di sekolahnya. Dan salah satu cerita
yang membuatku sangat ingin menulis ini adalah mengenai salah satu temannya
yang tiba-tiba masuk ke sekolah yang sama dengan adikku, padahal namanya tidak
ada dalam daftar siswa yang diterima di sekolah tersebut, melainkan ada di
sekolah lain. Tidak hanya ada satu siswa saja yang seperti itu. Ada lebih dari
tiga siswa yang seharusnya menjadi siswa di sekolah “agak sebelah sana” dan
tiba-tiba saja hari ini mengikuti pra-PLS di sekolah adikku. Menurut keterangan
adikku yang mendapat cerita dari teman dekat salah satu siswa yang tiba-tiba “muncul”
itu, orang tua siswa tersebut menyogok atau membayar sejumlah uang agar anaknya
bisa bersekolah di sekolah favorit tersebut, tapi tidak disebutkan nominal
uangnya.
Inikah wajah sistem penerimaan peserta didik baru di
Indonesia? Ini hanya kota kecil, kawan. Bisa saja hal ini terjadi di kota-kota lain di
seluruh Indonesia. Who knows? Bahkan aku pun sempat mendengar bahwa sekolah
negeri tertentu juga masih membuka perndaftaran dan melakukan tes masuk,
padahal tanggal-tanggal tersebut bukanlah jadwal resmi pelaksanaan pendaftaran
dan tes masuk sekolah dari dinas pendidikan. Entahlah, mungkin ada perubahan
jadwal secara tiba-tiba dari pihak dinas pendidikan atau mungkin memang sekolah
tersebut saja yang diam-diam melakukan hal licik seperti itu atau bahkan
mungkin ada persekongkolan beberapa pihak? Aku pun tidak tahu menahu soal ini,
semoga saja memang ada perubahan jadwal tiba-tiba dari dinas pendidikan yang
memang harus dilaksanakan sekolah tersebut untuk memenuhi kuota siswa baru.
Bukan bermaksud su’udzon atau berpikiran buruk
lainnya, aku juga tidak tahu menahu kejadian yang sebenarnya, hanya orang-orang
yang menjalaninya dan Allah lah yang paling tahu. Jika memang kenyataannya
seperti itu, jujur saja aku sangat sedih. Bagaimana tidak? Pihak yang selama
ini dipercaya masyarakat sebagai titipan negara untuk mencerdaskan para penerus
bangsa, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yang katanya pendidik, pemberi
contoh yang baik untuk anak didiknya, malah dengan mudah menerima semacam “suap”
seperti itu. Orang tua, atau keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan
utama untuk anak-anak, bahkan dengan sesuka hati menggunakan senjata semacam
itu agar banyak orang melihat dan mendengar bahwa anaknya berhasil masuk di
sekolah favorit, agar tidak malu jika anaknya masuk di sekolah yang katanya hanya
peringkat sekian. Padahal menurut Bapak Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, pihak sekolah dan orang tua harus melakukan kolaborasi
yang baik untuk bersama-sama mencerdaskan anak-anak Indonesia. Saya paham,
bukan bentuk kolaborasi yang seperti ini yang diinginkan beliau untuk
mencerdaskan anak-anak Indonesia. Bukan kolaborasi mengajarkan kegiatan menyuap
dan menerima suap yang beliau ingin contohkan kepada anak-anak Indonesia.
Sayangnya sebagai mahasiswa, kita masih belum bisa
berbuat banyak secara langsung untuk mengurangi bahkan menghentikan kegiatan
semacam ini. Tapi kita bisa memulainya dari diri sendiri, kawan. Jadikan hal-hal
semacam ini sebagai pembelajaran, karena nantinya kita akan menjadi orang tua
anak-anak kita, kan? Yuk jadi orang tua yang memberikan teladan yang baik untuk
anak-anak kita nanti. Kita juga bisa memulainya dari lingkungan keluarga kita, atau lingkungan tempat tinggal kita, atau lingkungan sekolah atau kampus kita, dan lain sebagainya. Intinya, jangan sampai kita melakukan hal-hal kecil semacam ini
yang dikhawatirkan akan dibenarkan oleh anak-anak kita dan mungkin juga
orang-orang di sekitar kita yang berakibat semakin maraknya hal semacam
ini. "Satu tindakan jauh lebih baik daripada seribu kata, bukan?"
Keep educating and inspiring ^^
ZIR
Comments
Post a Comment