Skip to main content

Jujur Terhadap Diri Sendiri

"Yes woman" menjadi salah satu label yang diberikan oleh teman-temanku dulu saat masih kuliah. Hampir seluruh ajakan, permintaan tolong, bahkan pemberian amanah dalam suatu organisasi selalu ku-iya-kan tanpa memikirkan kondisi diriku sendiri. "Tidak enakan sama orang" kupahami sebagai alasan terbesarku masih tetap melakukannya. Pontang-pantinglah diriku selama 4 tahun lebih menjalani perkuliahan plus seabrek urusan non-akademik sejak pagi hari hingga pagi lagi. 

Entahlah, aku mau melakukannya, tidak ada rasa kecewa atau menyesal karenanya. Meskipun Mama sering menyarankanku untuk lebih memikirkan diriku, tapi aku akan semakin merasa sedih dan bersalah ketika mengatakan "tidak". Teman-temanku sampai bosan mendengar kata "maaf" dari mulut seorang Zizi yang menurut mereka tidak tepat dan sama sekali tidak berguna dengan dalih bahwa aku tidak bersalah sama sekali. Hmm... tak tahukah mereka betapa muramnya diriku jika sampai ada seseorang yang kesal karena perbuatan atau ucapanku dan aku belum meminta maaf sama sekali?

Oke, itu dulu. Sepertinya sejak berada di lingkungan baru yang memaksaku untuk beradaptasi dengan karakter manusia, kebiasaan hidup, dan budaya di Maluku Barat Daya yang sangat jauh berbeda, semakin membuatku memahami bahwa kita butuh jujur terhadap diri sendiri. Mendengar dan memahami isi hati dan pikiran nyatanya menjadi kunci dalam menjaga kewarasan. Dan yang bertanggung jawab atas itu ya diri sendiri, bukan subjek lain yang berinteraksi dengan kita. Karena kitalah yang paling mengerti apa yang kita butuhkan detik ini, hari ini, dan esok hari. Apa yang kita yakini sebagai prinsip hidup yang bisa ditoleransi maupun yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat.

Aku jadi semakin memahami, mengatakan "tidak" bukan sebuah dosa besar yang harus dihindari. Mengatakan "iya" sesekali malah membuat kita terjerumus dalam lubang buaya dan tidak ada pilihan untuk kembali. Tak hanya itu, menyatakan perasaan bahagia, sedih, kecewa, marah, dsb, juga menjadi hal yang sangat wajar sehingga kita dan lawan bicara kita mampu memahami respons yang sesuai setelahnya. Perihal tanggapan dan perasaan orang lain atas "iya", "tidak", dan perasaan kita bukan menjadi persoalan serius ketika kita mampu mengomunikasikannya dengan tepat. 

Kuakui sesekali aku gagal melakukannya. Lagi-lagi muncul rasa "kasihan", bibir yang tiba-tiba kelu ingin mengucap "tidak", teringat kebaikan-kebaikan lawan bicara, dan alasan-alasan lain yang kubenarkan sendiri. Berujung pada kekalutan dan penyesalan yang dampaknya mau tak mau harus kujalani sampai akhir.

Pict source: Pinterest

"Tak apa, Zi. Belajar lagi dan lagi ya, perlahan-lahan tapi pasti. Kamu yang akan merasakan manisnya buah kejujuran terhadap dirimu sendiri", rapalku dalam hati. 

Kamu juga ya, semangat :)

Comments