Skip to main content

Dialog Zi & Ze #1: Bungkus Permen dan Isinya

Sore yang damai. Diiringi hujan yang menyejukkan, tidak deras, tidak juga rintik-rintik, secukupnya.  Sebuah keputusan yang tepat aku pindah kamar yang memiliki dua jendela menghadap keluar. Sirkulasi udara jadi semakin baik dan terasa segar setiap hari. Kuhirup napas dalam-dalam, bau tanah karena hujan selalu menenangkan. 

Baru saja kututup laptopku, menuntaskan pekerjaan sedari tadi siang. Aku bermaksud rebahan sebentar saja sebelum bersih diri dan melanjutkan membaca buku yang baru tiba beberapa hari lalu. Nikmat Allah yang tidak mampu aku dustakan saat meregangkan seluruh tubuh di atas kasur sambil memejamkan mata, merasakan beberapa tulang beradu dan menimbulkan bunyi yang ternyata melegakan.

(Nada dering smartphone-ku berbunyi). Hmm... siapa sih ini?, gumamku dalam hati. Berharap nomor tak dikenal dan aku bisa me-reject panggilannya agar bisa melanjutkan istirahatku lagi. "Eh, Ze!". Aku sontak duduk dan menggeser tombol hijau di layar smartphone-ku.

"Halo, Assalamu'alaikum. Kenapa, Ze? Tumben telepon sore-sore?"

"Halo, Zi. Wa'alaikumussalam. Zi, aku mau cerita. Hehe, seperti biasa."

"Iya, iya, gimana? Btw, kamu sudah baikan?"

"Nah, itu yang ingin aku sampaikan sekarang."

Beberapa minggu terakhir ini, aku memang bertekad untuk belajar lebih mendengarkan orang lain. Menjadi pendengar cerita yang mampu mendengar aktif, turut merasakan apa yang dialami oleh si pencerita. Aku haus akan obrolan-obrolan bermakna yang bonusnya aku dan pencerita sama-sama bisa memetik pelajaran dari perjalanan hidup masing-masing. Ternyata, salah satu orang yang berani terbuka mengungkapkan semuanya adalah Ze. Makannya aku tidak mungkin melewatkan panggilannya meskipun aku masih sangat ingin rebahan.

"Zi, kamu tahu kan sudah beberapa minggu terakhir ini aku sediiih banget, bener-bener sedih yang teramat sangat karena alasan yang sudah kamu ketahui. Sampai tiap hari nangis terus. Kayak nggak tahu kapan perasaan ini akan hilang."

"Iya, Ze. Kamu sudah cerita panjang kali lebar kali tinggi soal itu, hehe."

"Iya, Zi. Nah, selama di kantor tadi, aku beberapa kali nangis lagi. Aku jadi memalingkan wajah dari temen-temenku ketika mereka mengajakku berbicara. Aku juga nggak bisa menjawab rentetan pertanyaan mereka yang malah semakin membuatku tertekan."

Aku masih diam, tetap mendengarkan Ze meluapkan apa yang ia alami hari ini.

"Puncaknya tepat setelah Sholat Ashar, Zi. Aku menangis sejadi-jadinya, bener-bener nggak bisa kutahan lagi. Sambil memohon ke Allah agar segera menuntunku atas ketidakmampuanku menyelesaikan ini sendirian dalam waktu singkat."

Ze berhenti berbicara sebentar, terdengar ia menghirup napas lebih dalam.

"Terus, atas kuasa Allah, tiba-tiba muncul aja di pikiranku, Zi. Tiba-tiba aku ingat kajian seorang ustadz yang aku lupa namanya tentang analogi sebungkus permen dan isinya, alias permen itu sendiri."

"Wah, gimana itu, Ze?"

"Oke, gini. Kalau kita mau makan dan merasakan manisnya permen, kita pasti beli permen sekaligus bungkusnya, kan? Nggak mungkin saat kita mau makan permen, kita bilang ke penjualnya, "Mas, aku ambil permennya aja ya, bungkusnya kutinggal". Nggak, kan? Kita pasti dapat keduanya, bungkus permen dan permen itu sendiri. Setelah kita membuka bungkusnya, baru tuh bisa merasakan nikmatnya permen yang kita mau.

Nah, ujian atau kesedihan yang Allah berikan ke manusia itu ibarat bungkus permen. Dan kebaikan atau kenikmatan yang Allah berikan ke manusia itu ibarat permennya. Jadi, Allah itu pasti memberikan kebaikan atau kenikmatan ke setiap manusia. Tetapi, kadang tidak selalu langsung Allah hendaki kebaikan atau kenikmatan itu untuk kita. Butuh proses, perjuangan, berupa ujian atau kesedihan, dsb, terlebih dahulu agar kita bisa mengambil pelajaran atau hikmah di balik bungkus permen, alias ujian-ujian tadi sehingga bisa mencicipi nikmat Allah yang berujung pada rasa syukur atas jungkir balik pada ujian-ujian yang kita alami. Gitu, Zi."

Pict source: Pinterest

"Maasyaa Allah, Ze. Jujur aku baru tahu analogi ini. Menarik sekali ya, Ze. Aku setuju banget dengan konsep bungkus permen dan isinya. Sepertinya bisa juga ya kita analogikan dengan benda-benda lain, intinya ada bungkus dan isinya. Makasi banyak ya, Ze, dapat ilmu baru nih hari ini. Eh, tapi sepertinya kamu belum selesai cerita, ya? Akhirnya setelah kamu ingat hal ini, gimana kondisimu sekarang?"

"Yap, sama-sama, Zi. Nah, betul, Zi. Setelah itu, perasaanku berbalik 180° menjadi bahagia. Aku bahagiaaa sekali, aku bersyukur Allah menitipkan kesedihan ini ke aku. Aku bersyukur aku pernah merasakan kesedihan dengan level paling tinggi yang pernah aku alami selama hidupku. Dan aku yakin, setelah kesedihan ini, pasti akan ada kebahagian-kebagiaan yang aku masih belum tau itu apa. Tapi, pasti akan membuatku menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bisa menghadapi saat Allah memberikan kesedihan-kesedihan serupa. Momen ini seperti menyadarkanku lagi bahwa Allah itu terlalu baik dengan hamba-hambanya." 

"Maasyaa Allah, Alhamdulillah, Ze, aku terharu mendengarnya. Aku ikut merasakan bahagia saat kamu bahagia. Terima kasih sudah begitu terbuka membagikan semuanya ke aku, Ze."

"Terima kasih, Zi. Terima kasih untuk selalu ada dan menerima. Terima kasih sudah mendengarkan aku yang selalu banyak memproduksi kata-kata. Sementara cukup dulu ya, Zi. Lain kali kita lanjutkan lagi sharing kita. Assalamu'alaikum, Zi."

"Sama-sama, Ze. Siap, berkabar ya kalau butuh apa-apa. Wa'alaikumussalam, Ze."

Kuletakkan smartphone-ku di atas meja. Kembali menatap langit mendung melalui jendela kamar. Hujan sudah reda. Seperti kesedihan Ze yang semakin mereda. Aku tersenyum membayangkan betapa bahagianya Ze sore ini. Semoga awan sendu segera pergi. Pun kesedihan Ze seluruhnya memudar. Digantikan oleh senja yang rupawan yang mampu membuat siapa saja mensyukuri kuasa-Nya.

Comments