Skip to main content

Embun yang Tenggelam dalam Hujan

Source: http://nurraniima.blogspot.co.id
Waktu itu kamu bilang, kamu suka hujan. Kamu juga mengatakan kepadaku bahwa kamu sengaja berdiri beberapa menit di tepi jendela ruangan kerjamu yang berada di lantai tujuh gedung kantor kita saat hujan turun. Tersenyum bahagia menikmati pemandangan kota Bandung, kota impian tempat tinggalmu bersama pendamping hidupmu kelak. Mensyukuri nikmat Tuhan atas kenyataan bahwa kamu telah lebih dulu menetap di sini sebelum bertemu dengannya. Menurutmu, hal itu sungguh menyenangkan dan menenangkan.

Senin, 27 November 2017. Pukul 16.45 WIB. Ruang kerjamu (re: Embun), teman baikku (re: Rainy).
Tetapi sore ini kamu tidak begitu. Maaf, aku tidak sengaja melihatmu dalam kondisi seperti itu, saat hendak mengajakmu melakukan rutinitas kita bersama setiap hari Senin hingga Jumat sore. Pulang kantor bersama. Terlihat jelas bahwa kamu sedang tidak tersenyum bahagia seperti biasa. Matamu sayu. Pandangan matamu kosong. Bibirmu terlipat. Apa yang membuatmu bersedih saat hujan sore ini, Embun? Tak sedikitpun kulihat rona kebahagiaan dari wajahmu. Bahkan keceriaan yang biasanya menular ke orang-orang di sekitarmu, termasuk diriku, tidak aku rasakan sore ini. Aku pun tidak tahu apakah kamu tetap mengucap rasa syukur pada-Nya, meskipun sedikit.

Pukul 17.45 WIB.
Sejujurnya, aku tidak ingin mengganggumu yang sedari tadi dengan khidmat memandang hampa ke arah luar jendela ruangan kerjamu. Namun, waktu memang terlalu cepat berlalu. Sudah satu jam aku menunggumu yang tidak kunjung berpindah posisi. Tidak ada respon saat kupanggil berkali-kali. Tepat seperti manekin yang di-display di toko-toko pakaian, tidak bergerak. Beruntung dadamu masih kembang kempis normal, tanda aku tidak perlu panik memanggil mobil ambulans untuk membawamu ke rumah sakit terdekat. Dan sepuluh menit lagi Adzan Maghrib akan berkumandang. Kali ini instingku membisikkan bahwa aku tidak bisa tinggal diam.

“Embun..”

Tidak ada respon dari orang yang memiliki nama.

Aku mendesah. “Aku tidak tahu kamu akan mendengarkanku atau tidak. Namun, aku merasa harus tetap mengatakan ini padamu.”

Hening sesaat.

Well, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Meskipun saat ini hujan, namun baru kali ini aku melihatmu seakan-akan tenggelam dalam hujan, bukan berlari riang menujunya seperti biasa. Bukan bermaksud sok tahu, tetapi raut wajahmu menunjukkan ekspresi kesedihan mendalam yang belum pernah aku lihat selama mengenalmu. Dan kamu sangat tahu, aku bukan tipe orang yang akan bertanya ‘mengapa?’ atau ‘ada apa?’ kepada setiap orang yang bersedih. Tetapi, kamu pun tahu, aku selalu menjadi pendengar yang baik jika orang tersebut berniat menceritakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi padanya. Termasuk dirimu, jika kamu bersedia melakukannya. Jika tidak, it’s okay, sangat tidak masalah. Hanya saja, mari kita pulang terlebih dahulu. Kamu boleh melanjutkan melakukan ‘hal ini’ di rumah. Itu akan jauh membuatku lebih tenang, Embun.”

Setetes air mata membasahi pipi Embun.

“Embun, aku sangat paham, kamu selalu percaya bahwa Allah selalu bersama kita. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kita saja yang sering kali gegabah mengira-ngira takdir Allah. Padahal pada akhirnya Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Allah tidak akan pernah mengecewakan kita. Mungkinkah kali ini kamu dalam keadaan gegabah mengira-ngira takdirmu, Embun? Hmm.. Kamu tidak perlu menjawabnya. Coba sebentar lagi Embun ceritakan semua ke Allah ya. Coba perhatikan! Sekarang masih hujan, sebentar lagi waktunya berbuka puasa, dan ada sedikit jeda antara Adzan Maghrib dengan iqomah. Sangat tepat bukan untuk mengadukan semua yang kamu rasakan kepada Allah? Memohon agar diberikan ketenangan hati dan pikiran dalam menjalani semuanya.

Semakin banyak air mata yang membasahi pipi Embun.

Oiya, aku membawakan sekotak kue lapis dan es teh untuk kita berbuka puasa bersama. Memang sih, biasanya kita berbuka puasa di Masjid Salman, tetapi berbuka puasa berdua di kantor juga akan menyenangkan, yang penting aku tidak berbuka puasa sendirian hehe. Nanti kita Sholat Maghrib berjama’ah ya, Embun. Semoga hatimu bisa lebih tenang setelah sholat dan mencurahkan semua yang kamu rasakan kepada Allah. Jika kamu ingin berada di sini lagi seusai sholat, jika kamu belum ingin pulang ke rumah, jika kamu lebih nyaman melanjutkan melakukan 'hal ini' di ruangan ini, aku temani ya. Aku pesankan nasi goreng keju kesukaanmu via Go-Food saja.”

Sontak Embun berbalik arah menghampiriku yang sedang duduk di sofa ruangan kerjanya. Menatapku dengan menangis sesenggukan.

Aku tersenyum. Membuka lebar kedua tangan. Siap memberi pelukan hangat untuk Embun.

Dan kami berdua tenggelam dalam pelukan. Berdiam dalam tangisan Embun dan senyumku semoga yang menguatkannya. Hanya terdengar suara hati dua insan sahabat yang saling bertautan.


ZIR

Comments