Beberapa minggu terakhir ini, cuaca di kota tempat tinggalku,
Pasuruan, tidak jarang membuat keringat para penduduk dan pendatang bercucuran.
Siang hari sungguh panas sekali. Terik matahari mulai menyengat kulit bahkan
sejak sekitar jam 9 pagi hingga menjelang sore hari memasuki waktu Ashar. Tidak
terkecuali hari ini. Tercatat di accuweather.com,
suhu tertinggi di Kota Pasuruan bisa mencapai 35 °C. Sama halnya dengan suhu
tertinggi di Kota Surabaya. Kota di mana memori selama tujuh tahun lebih telah
membekas di sana. Namun, bukan rasa
sebal yang ingin kuungkapkan atas ekstrimnya cuaca akhir-akhir ini. Sebaliknya,
aku berusaha mensyukuri satu hal yang Alhamdulillah
telah aku lalui sebelum cuaca lebih ekstrim ini menyerang.
Ini soal tugas akhir kuliahku yang menggunakan variabel suhu 30 dan 50
°C.
Yang mengharuskanku dan partner-ku
menjaga suhu larutan kami tetap pada suhu-suhu tersebut dengan mengalirkan air
secara terus menerus selama 24 jam untuk setiap variabel komposisi larutannya. Bukan
perkara sulit saat kami nge-run
variabel-variabel suhu 50 °C, atau variabel-variabel suhu 30 °C pada malam hari yang
notabennya suhu Kota Surabaya berkisar 25-29 °C, karena kami hanya perlu
bantuan sebuah heater agar suhu
tercapai. Yang cukup membuat kami kualahan adalah pada siang hari saat suhu
Kota Surabaya melebihi 30 °C. Fiuuh, pernah
beberapa kali suhu Kota Surabaya mencapai 31 sekian °C hingga 32 sekian °C hingga menahan kami di laboratorium untuk
meletakkan sebongkah es batu dalam waterbath
agar larutan kami tidak melebihi suhu yang ditentukan. Dan pastinya, kami tidak
bisa langsung meninggalkan begitu saja atau suhu larutan akan turun jauh dari
30 °C.
Bisa kalian bayangkan kan betapa kami
perlu bersabar untuk mengambil kembali es batu saat suhu tepat mencapai 30 °C
dan harus meletakkan es batu lagi ke dalam waterbath
saat suhu semakin meningkat? Dan itu tidak hanya sekali dua kali kami lakukan.
Mengingat suhu Kota Surabaya yang lebih sering tinggi saat musim kemarau
semester lalu.
Dan akhir-akhir ini aku sering bergumam sendiri. Alhamdulillah pengerjaan tugas akhir kami telah selesai semester
lalu. Aku tidak bisa membayangkan jika kami nge-run
larutan semester ini dengan suhu Kota Surabaya yang sering sekali berkisar pada
suhu 33 – 35 °C. Pasti kami akan lebih banyak menghabiskan waktu di
laboratorium hanya untuk menjaga suhu larutan tetap stabil. Dan bagiku – yang
lebih sering berada di luar laboratorium jika suhu larutan stabil dan bisa
ditinggal – pekerjaan itu akan terasa membosankan. Atau mungkin menggunakan
strategi lain dengan nge-run larutan
pada malam hari saat suhu lebih bersahabat. Di saat mahasiswa-mahasiswa lain
lebih memilih untuk mengerjakan tugas, mencari tambahan uang saku, atau sekedar
bersantai memanfaatkan wifi kencang
di kosan/kampus/tempat makan.
Pada akhirnya aku pun menyadari. Bahwa setiap perubahan tidak perlu
melulu dimaki. Sebaliknya, akan lebih baik jika mampu kita syukuri. Termasuk
perubahan suhu di tempat tinggal kita yang hanya meningkat beberapa derajat saja.
Bisa jadi, Allah ingin kita lebih memahami sisi lain dari semua
kehendak-Nya. Bisa jadi, Allah ingin melatih kita berada pada cuaca panas
sebelum kita berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji nantinya, yang
sudah kita ketahui bahwa cuaca di sana lebih luar biasa ekstrimnya. Bisa jadi,
Allah ingin kita memanajemen waktu lebih baik lagi, karena dengan berkeringat
lebih banyak dari biasanya, kita perlu meminjam waktu tidur atau bersantai untuk
lebih sering mencuci pakaian. Bisa jadi, Allah ingin kita lebih banyak meneruskan rizki-Nya kepada
para pedangang keliling atau kaki lima dengan membeli minuman segar yang dijual
mereka. Dan lain sebagainya. Yuk, syukuri saja dan ambil hikmahnya :)
Keep educating and inspiring ^^
ZIR
Comments
Post a Comment