Skip to main content

Jangan Benci Bundamu!


Siang ini sangat terik. Matahari berada tepat di atas kepala. Angin sepoi-sepoi yang biasa berkunjung ke kota kecil ini pun kali ini enggan menyumbangkan hawa sejuknya. Barisan semut-semut lebih memilih melewati tanah yang tertimpa bayangan pohon-pohon daripada rumput hijau segar yang rela bermandikan cahaya matahari. Sungguh siang yang begitu panas. Sepanas hati Raffah saat ini.
Sejak satu jam yang lalu, gadis berumur enam tahun itu duduk di ayunan karet ban kesayangannya yang ditali ke pohon rambutan di halaman depan rumahnya. Sendirian. Menyendiri lebih tepatnya. Sesekali dia mengayunkan tubuhnya agar ayunan karet bannya bergerak ke depan, belakang, kembali ke depan, ke belakang lagi, begitu seterusnya hingga kencang, semakin kencang dan seru, membuat dua kepang rambutnya bergerak berlawanan arah dengan arah ayunan. Tak peduli teriknya matahari di atas sana, tak peduli panggilan Bundanya yang menyuruhnya masuk ke dalam rumah, Raffah benar-benar tidak peduli dengan semua itu. Yang dia tahu, dia sangat sebal dengan Bundanya.
Tadi sekitar jam setengah sebelas pagi, saat Raffah baru pulang dari sekolahnya – hari ini hari pertama Raffah masuk sekolah, Kelas 1 SD – dia langsung menuju kamar Bundanya.
“Bunda... Bunda....”, panggil Raffah sambil membuka pintu kamar Bundanya.
“Bunda masih di kamar mandi, Sayang”, jawab Bunda yang mendengar panggilan Raffah dari kamar mandi di dalam kamarnya.
“Oke Bunda, aku tunggu yaa.. Aku pengen cerita banyaaaaak banget. Hari ini di sekolah seru banget Bund.
“Iya, sebentar ya, Sayang.”
“Eh Rayhan di sini. Assalamu’alaikum, Rayhan,” kata Raffah sambil mencubit gemas pipi adiknya di atas tempat tidur Bundanya.
Yang diberi salam malah menjawab tidak jelas seperti orang berkumur-kumur. Maklumlah, Rayhan baru berumur 10 bulan seminggu yang lalu.
“Kalau ada orang salam, jawab Wa’alaikumsalam gitu ya Rayhan,” kata Raffah sambil meluncurkan serangan super gemas ke adik kecilnya. Rayhan yang merasa ‘teraniaya’ dengan kegemasan kakaknya langsung memukulkan mainan yang sedang dipegangnya ke wajah kakaknya. Raffah pun kaget dan meluncurkan serangan balik ke adiknya dengan memukul tangan adiknya berkali-kali, “Aduh, Rayhan ini kecil-kecil sudah berani mukul-mukul kakak, duhh!”
Bunda baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung kaget melihat anak pertamanya memukuli tangan adiknya. Rayhan mulai menangis tak karuan. “Raffah, hentikan!” Bunda langsung mengangkat Rayhan ke dalam pelukannya.
“Kenapa kamu memukul Rayhan, Raffah?”
“Rayhan duluan Bun yang mulai, salah sendiri mukul-mukul Raffah dengan mainannya!!”
“Rayhan kan masih kecil, belum mengerti apa-apa, Sayang. Pasti ada sebabnya dia memukulmu.”
“Raffah kan cuma gemas Bun, terus Rayhan mukul-mukul Raffah, yaudah Raffah balas mukul Rayhan.”
“Lain kali jangan kamu ulangi perbuatanmu ya, Sayang. Apalagi Rayhan adikmu sendiri, masih kecil pula,” kata Bunda sambil menenangkan Rayhan.
“Biarin lah Bun. Biar tahu rasa dia Bun. Masak masih kecil sudah berani sama kakaknya,” kata Raffah sebal.
“Raffah!! Tidak boleh bicara seperti itu!”
“Uuuuuhhh Bunda.. Selalu saja membela Rayhan. Apa-apa Rayhan, selalu Rayhan yang Bunda bilang benar. Selalu Raffah yang disalahin. Uuuhh Raffah sebel. Raffah benci sama Bunda!” bentak Raffah sambil membanting pintu kamar Bundanya dan keluar menuju halaman depan rumah.
“Bukan itu maksud Bunda, Sayang.”

***

Sore harinya..
“Assalamu’alaikum Raffah”. Ayah Raffah baru saja pulang dari kantor. “Raffah kok sendirian di luar?”
“Wa’alaikumsalam.”
“Jawab salamnya kok gitu? Raffah kenapa, Sayang?”
“Raffah sebel sama Bunda, Yah. Raffah benci sama Bunda!”
“Eits, nggak boleh bilang gitu, Raffah.”
“Tapi Raffah sebel, Ayah. Selalu Raffah yang disalahin sama Bunda, selalu Rayhan yang dibela. Raffah kan juga anaknya Bunda, Yah. Raffah sama Ayah aja ya, Raffah nggak mau sama Bunda.”
“Yaudah, Raffah sama Ayah dulu. Tapi Raffah nggak boleh sebel sama Bunda juga ya. Raffah jangan benci Bunda ya. Ayah tahu, Bunda sayaaaang banget sama Raffah, Raffah juga sayaaaang banget sama Bunda.”
Raffah hanya diam. Dia memang sedang sebal dengan Bundanya, tapi dia juga tidak bisa sepenuhnya membenci Bundanya.
“Raffah tahu tidak, siapa orang terakhir sekaligus orang pertama dalam setiap urusan di rumah ini?”
Raffah berpikir sejenak lalu menggeleng tanda tidak mengerti.
“Orang itu Bunda, Sayang.”
“Kok bisa, Yah?”
“Coba perhatikan. Bunda orang yang terakhir bergabung dengan kita di meja makan. Bunda orang yang terakhir mengambil nasi, sayur, lauk, saat kita makan bersama, memastikan Ayah dan Raffah sudah mendapat porsi yang cukup. Bunda orang yang terakhir bergabung menonton TV setelah mencuci semua piring kotor. Bunda orang yang terakhir pergi tidur, memastikan Raffah dan Rayhan benar-benar sudah tidur nyenyak. Bunda orang terakhir dalam setiap urusan. Tapi Bunda juga orang pertama dalam setiap urusan lainnya. Bunda orang yang pertama bangun setiap pagi sebelum shubuh, menyiapkan sarapan untuk kita semua. Bunda orang yang pertama membereskan rumah, yang menyapu dan mengepel rumah, juga mencuci pakaian kita semua. Bunda orang yang pertama kali memastikan kita semua baik-baik saja. Bunda selalu menjadi orang pertama dalam setiap urusan itu. Raffah pasti tahu semua itu.”
Raffah diam. Dalam hatinya, ia membenarkan kata-kata Ayahnya. Bunda memang orang terakhir dan pertama dalam setiap urusan.
“Raffah, jangan pernah membenci Bundamu ya. Jika kamu melihat dan mengetahui apa saja yang Bunda lakukan untukmu, maka sejatinya yang kamu ketahui tidaklah lebih dari sepersepuluh pengorbanan, rasa cinta, dan kasih sayang Bunda untukmu. Ingat itu Raffah. Bunda sayaaaang banget sama Raffah, Ayah sangat tahu itu. Bunda tadi membela Rayhan hanya tidak ingin Rayhan kenapa-kenapa, Bunda juga tidak ingin Raffah menjadi kakak yang nakal, kakak yang tidak memberi contoh yang baik untuk adiknya. Semua yang Bunda lakukan itu memiliki alasan-alasan yang baik, Sayang.”
Raffah mulai sesenggukan. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari masuk ke dalam rumah mencari Bundanya.
“Bunda, maafin Raffah ya Bunda. Raffah janji nggak akan nakal lagi. Raffah mau jadi kakak yang baik buat Rayhan. Raffah janji nggak akan benci Bunda lagi. Raffah sayaaaang banget sama Bunda.” sambil memeluk erat Bundanya.
Bunda balas memeluk erat Raffah. “Iya Sayang, Bunda juga sayaaaang banget sama Raffah.”

 ***


Disadur dari cuplikan novel-novel karya Tere Liye Serial Anak-anak Mamak (Eliana, Pukat, Burlian, Amelia)


Comments