Skip to main content

Persimpangan Dua Jalan

Pict source: Pinterest
Perjalanan hidupku ke belakang tidak lepas dari berbagai momen di persimpangan dua jalan yang perlu aku pilih secara cepat dan tepat. Ya, mengingat adanya keterbatasan waktu yang harus segera kuberikan kepastian di antara kedua persimpangan itu. Di sisi lain, aku pun tidak mau salah pilih karena menyangkut peran baru dalam hidupku dan bagaimana aku akan menjalaninya.

Ternyata, ini tidak hanya terjadi satu-dua kali saja. Rasa-rasanya hampir setiap akan memulai babak baru, aku selalu dihadapkan dengan dua pilihan di waktu bersamaan. Mulai dari saat penerimaan masuk SMA, lanjut kuliah, menjajaki pekerjaan profesional pertama, switch career ke bidang lain, sampai yang baru-baru ini tentang pilihan untuk fokus ke individual contributor yang lebih senior atau beralih ke managerial level, tentu dengan sepaket pros dan cons-nya.

Seakan-akan Allah ingin menguji seberapa naik kelas kemampuanku dalam mengambil keputusan di momen-momen tersebut. Seiring bertambah dewasa dan melewati beragam perjalanan hidup yang membentuk diriku saat ini, aku cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa aku benar-benar naik kelas di setiap persimpangan dua jalan baru yang aku temui. Tentu, atas petunjuk dan kemantapan hati dari-Nya, Maasyaa Allah, Alhamdulillaah.

Aku baru menyadarinya—yang akhirnya mendorongku untuk menuliskan refleksi pribadi ini—saat membaca buku The Intelligence Trap karya David Robson. Buku ini menceritakan berbagai bias yang menjebak pemikiran manusia, termasuk orang-orang cerdas sekalipun, dan bagaimana kita bisa melatih cara berpikir kita untuk terlepas dari jebakan tersebut untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana. Pada Part 1 Chapter 2, David Robson berhasil mengingatkanku pada dua framework sistem berpikir manusia yang dibahas Daniel Kahneman melalui bukunya Thinking, Fast and Slow.

Pict source: The Decision Lab
Berdasarkan psikologi kognitif, sistem berpikir manusia terbagi atas dua, yaitu 'Sistem 1' yang cenderung intuitif dan emosional, serta 'Sistem 2' yang cenderung logis dan analitis. Aku pun menyadari bahwa kemampuanku untuk bisa naik kelas dalam hal pengambilan keputusan didasari oleh proses berpikir menggunakan dua sistem ini. Harus kuakui bahwa dulu aku sering diliputi emosi dan mengandalkan intuisi, ambisi, atau kehendak pribadiku dalam memilih salah satu dari dua persimpangan jalan, yang berdampak pada perdebatan panjang dengan orang-orang di sekitarku. Semakin ke sini aku semakin mampu mengendalikan proses berpikir dalam otakku untuk lebih memanfaatkan 'Sistem 2', sekalipun jika tidak memilih persimpangan jalan yang jauh lebih menggiurkan bagi kebanyakan orang.

Memilih jalan berbeda tidak lantas membuat kita tersingkirkan dari dunia. Nyatanya, tidak ada yang salah dengan pilihan apapun yang kita ambil karena kenyataan yang perlu kita jalani adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan itu. "Choose your battle!", ujar temanku saat aku berkonsultasi tentang persimpangan dua jalan yang harus aku pilih akhir-akhir ini. Konsekuensi seperti apa yang mau kita jalani? Perjuangan seperti apa yang sanggup kita hadapi? 

Terlepas dari sistem berpikir mana yang aku gunakan dan alasan-alasan di balik keputusanku, aku bersyukur persimpangan jalan yang akhirnya kuambil selama ini adalah pilihan-pilihan yang mempertimbangkan what really matters for me. Kurasa, itu jauh lebih dari cukup untuk membuatku mampu melihat jelas hubungan antara pilihan-pilihan tersebut dengan siapa diriku, serta mengapa dan bagaimana aku menjalani peranku saat ini.

Semoga apapun persimpangan jalan yang kita pilih mampu mengantarkan kita ke keberkahan dan ketetapan terbaik-Nya ya.

With love,
Zizi

Comments